Oknum Kelompok Tani Diduga Jual Pupuk Subsidi di Atas HET, Petani Kecil Teriak Kesulitan
Panggarangan, Lebak –
Dugaan penyimpangan distribusi pupuk bersubsidi kembali mencuat. Seorang oknum anggota kelompok tani berinisial Boss A, yang berdomisili di Kampung Serdang, Desa Jatake, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, diduga menjual pupuk bersubsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dari informasi yang dihimpun di lapangan, pupuk jenis Urea dijual kepada petani dengan harga Rp175.000 per zak, sementara NPK Phonska dijual dengan harga Rp200.000 per zak. Harga tersebut jauh di atas ketetapan resmi pemerintah, di mana melalui Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022, HET untuk pupuk Urea sebesar Rp112.500 per zak (50 kg), dan untuk NPK Phonska sebesar Rp120.000 per zak (50 kg).
Ironisnya, pupuk bersubsidi tersebut seharusnya diperuntukkan bagi petani yang memenuhi syarat sesuai e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Namun dalam praktiknya, pupuk disalurkan kepada petani dengan harga “bebas”, tanpa mempertimbangkan aturan dan ketentuan yang berlaku.
Selain Boss A, warga juga menyebut keterlibatan seorang pengecer berinisial SR, yang merupakan warga Kampung Picung RT 002/003 Desa Jatake, dalam distribusi dan penjualan pupuk dengan harga tinggi tersebut.
Petani Menjerit, Pengawasan Lemah
Banyak petani kecil di Kecamatan Panggarangan mengeluhkan mahalnya harga pupuk bersubsidi yang tak sesuai aturan. Mereka merasa hak mereka telah dirampas oleh oknum yang memanfaatkan program subsidi pemerintah demi keuntungan pribadi.
“Kami para petani merasa sangat dirugikan. Pupuk subsidi yang seharusnya menjadi hak kami, malah dijual seenaknya. Pemerintah kasih subsidi, tapi yang menikmati justru oknum,” ungkap seorang petani yang meminta identitasnya dirahasiakan karena takut mendapat tekanan.
Praktik seperti ini diduga sudah berlangsung cukup lama dan terkesan dibiarkan. Ketika petani mengeluh, tak ada tindak lanjut tegas dari pihak yang berwenang. Hal ini memunculkan dugaan adanya pembiaran sistematis bahkan kemungkinan kongkalikong antara oknum kelompok tani dengan pengecer yang tidak bertanggung jawab.
Praktik penjualan pupuk subsidi di atas HET tidak hanya melanggar moral dan etika sosial, tetapi juga dapat dijerat hukum pidana. Berikut beberapa regulasi dan pasal yang berpotensi dilanggar:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Pasal 107 menyatakan:
“Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).”
2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022
Menetapkan HET untuk pupuk subsidi dan mengatur mekanisme penyaluran berdasarkan e-RDKK. Penjualan pupuk subsidi di atas HET atau kepada pihak yang tidak berhak merupakan pelanggaran serius terhadap kebijakan pemerintah.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 8 Ayat (1) melarang pelaku usaha memperdagangkan barang atau jasa yang:
• Tidak sesuai dengan harga yang sebenarnya atau tidak memenuhi ketentuan pemerintah.
• Berpotensi menyesatkan atau merugikan konsumen, dalam hal ini adalah petani sebagai penerima manfaat subsidi.
Masyarakat, khususnya para petani di Desa Jatake dan sekitarnya, mendesak aparat penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, dan Inspektorat Daerah, serta Dinas Pertanian Kabupaten Lebak, untuk segera turun ke lapangan, menyelidiki kasus ini, dan menindak tegas siapa pun yang terbukti melakukan pelanggaran.
“Kami minta pemerintah jangan tutup mata. Program subsidi pupuk itu uang negara, uang rakyat. Kalau ada yang main-main, harus diproses hukum,” tegas seorang tokoh tani setempat.
Praktik semacam ini, jika terus dibiarkan, akan merusak kepercayaan petani kepada pemerintah dan membuat program bantuan pertanian jadi tidak efekti


